Jati Diri


Barangkali, yang disebut memiliki jati diri sejati adalah ketika kita melakukan kebaikan karena kita adalah orang baik, bukan karena orang-orang lain berbuat baik, bukan karena merasa iba dan kasihan, apalagi karena ingin dilihat sebagai orang baik.
Barangkali, yang disebut memiliki jati diri sejati adalah menjadi diri yang sama saja–entah di hadapan publik dan banyak orang, entah ketika sedang sendirian, atau ketika sedang “bersama” Tuhan.
Barangkali, yang disebut memiliki jati diri sejati adalah berani memihak, yaitu memihak kepada kebenaran, meskipun kejujuran berkata tak ingin. Adalah tidak membenarkan kebiasaan yang salah hanya karena semua orang melakukannya, hanya karena sesuatu itu sudah menjadi tradisi.
Barangkali, yang disebut memiliki jati diri sejati adalah menjadi apa adanya, namun menyadari bahwa segala hal ada tempatnya (dan waktunya). Adalah berlaku sopan dan bertutur santun bukan untuk menjadi palsu, melainkan untuk memberi penghormatan.
Barangkali, yang disebut memiliki jati diri sejati adalah selalu melangkahkan kaki karena identitas yang menggerakkan, bukan isu yang sebentar muncul lalu segera hilang.
Kita mencari-cari jati diri seakan ia bersembunyi di entah berantah. Padahal, kita sama-sama sudah mengetahui siapa jati diri kita. Sering, rasanya begitu malu untuk mengakui yang sebenarnya.
Begitulah. Jati diri tidaklah sekadar selapis kebenaran yang ada di bawah permukaan, tetapi juga jangkar yang menjangkau sampai ke palung jiwa setiap orang.
Kita harus menjadi generasi yang jati dirinya kuat. Tidak mudah terombang-ambing karena isu yang sesaat. Kita harus bisa berkata kepada diri sendiri, “lakukanlah kebaikan karena dirimu memang orang baik.”
Jakarta, 26 Januari 2019

Comments

Popular posts from this blog

Ujung

Our 10 Years Challenge