Posts

Jati Diri

Image
Barangkali, yang disebut memiliki jati diri sejati adalah ketika kita melakukan kebaikan karena kita adalah orang baik, bukan karena orang-orang lain berbuat baik, bukan karena merasa iba dan kasihan, apalagi karena ingin dilihat sebagai orang baik. Barangkali, yang disebut memiliki jati diri sejati adalah menjadi diri yang sama saja–entah di hadapan publik dan banyak orang, entah ketika sedang sendirian, atau ketika sedang “bersama” Tuhan. Barangkali, yang disebut memiliki jati diri sejati adalah berani memihak, yaitu memihak kepada kebenaran, meskipun kejujuran berkata tak ingin. Adalah tidak membenarkan kebiasaan yang salah hanya karena semua orang melakukannya, hanya karena sesuatu itu sudah menjadi tradisi. Barangkali, yang disebut memiliki jati diri sejati adalah menjadi apa adanya, namun menyadari bahwa segala hal ada tempatnya (dan waktunya). Adalah berlaku sopan dan bertutur santun bukan untuk menjadi palsu, melainkan untuk memberi penghormatan. Barangkali, yang di

Our 10 Years Challenge

Image
Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Sepuluh tahun cukup untuk melunasi cicilan KPR dan tabungan haji. Sepuluh tahun berlalu, dan kita telah banyak berubah. Selamat, kamu makin cantik, ganteng, dan siap bereproduksi! Tapi apa yang sebenarnya kamu lihat dari sepuluh tahunmu. Perkara fisik, kamu ‘diamkan’ saja, tubuhmu tetap akan tumbuh. Masa pubertasmu tetap akan datang tanpa perlu diundang. Tapi perkara hati dan pikiran, ia akan lusuh dan berkarat jika kamu diamkan. Mari barang sebentar kita selami hati dan pikiran. Apa yang dibungkus oleh raga nan sempurna ini? Seonggok sampah atau sebongkah berlian? Sepuluh tahun ini, berapa persen waktu untuk mengaji, berapa persen untuk nonton TV? Berapa banyak buku yang dikhatamkan, berapa episode drama yang ditamatkan? Sepuluh tahun ini, adakah perbedaan signifikan dari surat-surat pendek dalam shalat-shalatmu? Ataukah masih itu-itu saja? Sepuluh tahun ini, sedewasa, sebijak, secerdas apa kamu telah menjadi? Masih sering berm

Bagaimana Baiknya

Image
Suatu hari, disaat langit sedang kelabu-kelabunya, hatiku pun demikian. Adik bimbinganku mengirimkan sebuah pesan pendek melalui whatsapp. Aku sedang berbaring di tempat tidur, memandangi jendela, memerhatikan pohon yang bergerak-gerak ditiup angin, menantu hujan. “Kak, mau nanya dong. Apa aja sih yang harus diperjuangkan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan yang disukainya. Biar mendapatkan sinyal positif, biar bisa meyakinkannya (dan keluarganya), biar bisa mencuri hatinya. Laki-laki itu harus bagaimana?”  tanyanya. Aku membacanya, malas. Menimang-nimang kembali handphoneku, lalu melemparkannya ke tumpukan baju. Aku memilih untuk menidurkan diri, Lepas tengah malam. Aku masih berkutat dengan buku, dengan pikiranku, dengan kegelisahanku. Aku memungut kembali handphone yang sedari tadi aku buka. Memandang kembali pertanyaan dari adik kelasku yang tak kunjung ku balas. “Dengan beribadah dengan baik, bekerja dengan tekun, fokus, berbuat baik pada banyak orang, rutin men

Ujung

Image
Jalan ini begitu jauh sampai ujungnya tak terlihat. Sementara di sepanjang perjalanan kita belajar, bahwa ujung perjalanan ini bergantung pada bagaimana kita saat ini mempersiapkan diri. Saat itu aku tidak mengerti. Kalau jalan ini memang berujung, mengapa ujungnya berubah bergantung pada apa yang kita persiapkan? Bukankah seharusnya ia tetap sejak semula kita memulai perjalanan ini? Musim berganti, aku masih tidak mengerti. Sampai suatu hari, aku berteduh di sebuah saung di tepi perjalanan. Di sana ada beberapa orang yang juga melakukan perjalanan, beberapa diantaranya saling berbicara. “Apa isi doamu hari ini?” “Semoga aku bisa mengakhiri perjalanan ini dengan baik.” “Mengakhiri?”  pikirku. “Berarti, ujung perjalanan ini adalah pilihan kita? Kita mau berhenti dimana dan dalam keadaan seperti apa?”  pikirku lagi. Aku memandang jauh ke depan, dunia ini tidak ada ujungnya, sungguh. Bahkan sampai habis usiaku, tidak akan pernah sampai jika kukejar seluruhnya.